"Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
QS An-Nisaa [4 : 100]
Hijrah seperti diperintahkan dalam ayat 100 dari Surah An-Nisaa ini bukan hanya menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan ubudiyah (peribadatan) belaka. Justru yang ditekankan dalam ayat ini adalah “tempat yang luas dan rezki yang banyak” Jadi penekanan dalam ayat ini justru pada aspek rezki atau harta kekayaan. Untuk apa rezki yang banyak itu ? Untuk mencapai tujuan Syariah dari perwujudan ibadah dalam kehidupan sehari-hari yaitu menyantuni kaum lemah dan terlemahkan, yang juga sama dengan melalaikan shalatnya karena shalat itu tiang agama. 107:1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 107:2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 107:3. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.107:4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat,107:5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, 107:6. orang-orang yang berbuat ria. 107:7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna [QS Al-Maauun 107:1-7].
Jadi inilah tujuan mencari rezki yang halal dan baik yaitu mendapatkan keuangan yang cukup untuk lebih mensejahterakan makhluk Allah swt yang lain, dan ini pula yang menjadi tujuan dari melaksanakan hijrah yaitu untuk mencegah kaum Mu`minin masuk kedalam golongan yang lalai dalam shalatnya, dan mendustakan agama. Tentu saja tanggung jawab finansiil sebagai kepala keluarga harus didahulukan karena ini fardhu ‘ain (kewajiban pribadi), sedang menyantuni fakir miskin dan yatim piatu itu hukumnya fardhu kifayah (kewajiban lingkungan).Kedua kewajiban itu adalah perintah Allah, jadi dengan menunaikan kewajiban menafkahi keluarga dan kewajiban menyantuni kaum miskin dan termiskinkan, sama dengan menjalankan perintah Allah. Bahwa menafkahi keluarga itu harus diprioritaskan tercantum pada banyak daliel (ayat maupun hadits). Salah satu diantaranya ialah bahwa seorang Muslim tidak diperkenankan mewakafkan seluruh harta untuk perjuangan di jalan Allah, tetapi harus tetap ada bagian yang mencukupi untuk hidup keluarga yang akan ditinggalkannya. Ini bukanlah pernyataan mementingkan diri sendiri (egois atau ananiah). Ini suatu perwujudan dari penunaian kewajiban perorangan. Kewajiban terdekat dari kalompok ini ialah kewajiban terhadap diri sendiri yang harus diperlakukan adil baik jasmani maupun rohani, dan tidak boleh berlaku zalim (tidak adil) kepadanya atau dengan perkataan lain dilarang berma’shiyat. Tapi dalam hal ini masih tetap berlaku bahwa keperluan (kebutuhan) harus didahulukan dari pada keinginan. Kewajiban yang berikutnya adalah kewajiban terhadap keluarga yang harus dinafkahinya dengan secukupnya memenuhi seluruh kebutuhan, baik kebutuhan dasar pangan papan, kesehatan, pendidikan dan komunikasi. Selebihnya harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan hijrah ke jalan Allah dan rasulnya. Tidaklah mengherankan bila Allah memasukkan hijrah ke jalan Allah dan Rasul-Nya sebagai jihad di jalan Allah dan oleh sebab itu maka mati dalam keadaan menjalankan hijrah akan tetap tersedia pahala baginya. Hijrah wajib dilakukan oleh setiap mu`minin dan mu`minat bila keadaan tidak memungkinkan untuk mengembangkan kehidupan duniawi maupun ukhrawi.
Jadi “peribahasa makan atau tidak makan kumpul “ bukanlah akhlak yang sesuai dengan Islam karena ayat ini jelas jelas memerintahkan melakukan hijrah menuju (ke jalan) Allah dan Rasul-Nya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dalam mengajak ummat Islam supaya melakukan hijrah Allah memberikan gambaran bahwa bumi Allah itu demikian luas. Hijrah dapat dilakukan secara fisik atau non-fisik. Secara fisik berarti melakukan perpindahan tempat kediaman, migrasi baik transmigrasi maupun urbanisasi. Hijrah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya bukan hanya yang dari Makkah ke Yathrib (kemudian: Madinah). Hijrah pernah dilakukan Rasulullah saw ke kota Thaif, dan ke negeri Habsyi (Ethiopia) Walaupun secara fisik Rasulullah dan para sahabatnya itu berpindah tempat, namun perpindahan ini dengan sendirinya memerlukan strategi dan taktik yang tepat. Perpindahan ke Madinah, Ada perbedaan yang sangat prinsipil antara hijrah ke Madinah dengan hijrah-hijrah yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya ke tempat-tempat lain sebelumnya, serta hijrah-hijrah yang dilakukan nabi-nabi sebelum Rasulullah, diantarnya oleh Nabi Musa as. Hijrah-hijrah pra-Madinah itu dilaksanakan sebagai upaya pertahanan iman yaitu kegiatan membekukan aktivitas untuk menyelamatkan keimanan dan orang-orang beriman dari lingkungan yang mengancam (hostile environment). Sedangkan hijrah ke Madinah adalah hijrah untuk pertumbuhan, yaitu pemindahan tempat pertumbuhan agar bisa diterobos suatu pertumbuhan yang lebih dahsyat dan lebih kuat dan meluas dobrakannya. Selain itu hijrah ke Madinah bersifat menyeluruh, bukan hanya perpindahan tempat tapi juga peralihan gaya hidup, cara berfikir, cara bertindak dan bertransaksi termasuk system politik dan peradaban yang lebih mendunia. Oleh sebab itu hijrah yang memerlukan persiapan diantaranya adalah pembekalan kompetensi, pengenalan wilayah dan pengesetan sikap yang tepat sebagai pendatang yang bisa membawa diri.
Hijrah adalah proses inovasi yang sama sekali baru yang ditemukan oleh Rasulullah saw jauh sebelum ditemukannya teknik cloning, transplantasi dll sebutan untuk suatu teknik yang memindahkan sepenuhnya suatu konsentrat pertumbuhan ke tempat yang baru. Selanjutnya konsentrat ini tumbuh menyebar dengan dinamis di tempatnya yang baru. Inilah suatu terobosan teknik penumbuhan yang bisa diterapkan dalam konsentrasi da’wah, suatu pertumbuhan korporasi (perusahaan), organisasi maupun pertumbuhan makhluk hidup. Hijrah dari Makkah ke Madinah itu adalah yang pertama yang merupakan proses pemindahan konsentrasi untuk tumbuh Semoga kita semua bisa meneladani hijrah Rasulullah dalam arti yang seluas-luasnya baik hijrah tempat, maupun hijrah pola pikir (mind set),gaya hidup (life style) maupun etos kerja dan pola tindak untuk kepentingan dunia dan terutama akhirat mengharapkan keridhaan Ilahy. Amien. Wallahu a'lam bishshawab. (SFR)
Allah menganugrahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi Al Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (QS Al-Baqarah 2:269)Sumber : TAFASIR- Lembar Dakwah Masjid Bahrul 'Ulum PUSPIPTEK